Ekonomi Pendidikan (Analisa Manfaat Biaya Pendidikan)
ANALISA
MANFAAT BIAYA PENDIDIKAN
Pendahuluan
Hampir
dapat dipastikan bahwa proses pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan
biaya yang memadai. Implikasi diberlakukannya kebijakan desentralisasi
pendidikan, membuat para pengambil keputusan sering kali mengalami kesulitan
dalam mendapatkan referensi tentang komponen pembiayaan pendidikan. Kebutuhan tersebut
dirasakan semakin mendesak sejak dimulainya pelaksanaan otonomi daerah yang
juga meliputi bidang pendidikan. Apalagi masalah pembiayaan ini sangat
menentukan kesuksesan program MBS, KBK, ataupun KTSP yang saat ini
diberlakukan.
Dalam
makalah ini, kami akan memfokuskan pada satu permasalahan pembiayaan pendidikan
yaitu analisis manfaat biaya pendidikan, namun untuk memperjelas dan
mempermudah pembahasan makalah ini, pemakalah akan membahas terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan biaya pendidikan.
A.
Pengertian Biaya Pendidikan
Secara bahasa biaya (cost) dapat
diartikan pengeluaran, dalam istilah ekonomi, biaya/pengeluaran dapat berupa
uang atau bentuk moneter lainnya. Pengertian biaya dalam
ekonomi adalah pengorbanan-pengorbanan yang dinyatakan dalam bentuk uang,
diberikan secara rasional, melekat pada proses produksi, dan tidak dapat
dihindarkan. Bila tidak demikian, maka pengeluaran tersebut dikategorikan
sebagai pemborosan.
Nanang Fattah menambahkan biaya
dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak
langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa
seperti pembelian alat-alat pembelajaran, penyediaan sarana pembelajaran, biaya
transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan pemerintah, orang tua maupun
siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan yang hilang
dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang yang dikorbankan oleh siswa selama
belajar, contohnya, uang jajan siswa, pembelian peralatan sekolah (pulpen, tas,
buku tulis,dll).
B. Analisis Biaya Manfaat
Analisis biaya manfaat merupakan
metodologi yang banyak digunakan dalam melakukan analisis investasi pendidikan.
Metode ini dapat membantu para pengambil keputusan dalam menentukan pilihan
diantara alternatif alokasi sumber-sumber pendidikan yang terbatas tetapi
memberikan keuntungan yang tinggi.
Dalam konsep dasar pembiayaan
pendidikan ada dua hal penting yang perlu dikaji atau dianalisis, yaitu biaya
pendidikan secara keseluruhan (total cost) dan biaya satuan per siswa (unit
cost). Biaya satuan ditingkat sekolah merupakan Aggregate biaya
pendidikan tingkat sekolah baik yang bersumber dari pemerintah, orang tua, dan
masyarakat yang dikerluarkan untuk menyelenggarakan pendidikan dalam satu tahun
pelajaran. Biaya satuan per-murid merupakan ukuran yang menggambarkan seberapa
besar uang yang dialokasikan sekolah secara efektif untuk kepentingan murid
dalam menempuh pendidikan. Oleh karena biaya satuan ini diperoleh dengan
memperhitungkan jumlah murid pada masing-masing sekolah, maka ukuran biaya
satuan dianggap standar dan dapat dibandingkan antara sekolah yang satu dengan
yang lainnya. Analisis mengenai biaya satuan dalam kaitannya dengan
faktor-faktor lain yang mempengaruhinya dapat dilakukan dengan menggunakan
sekolah sebagai unit analisis. Dengan menganalisis biaya satuan, memungkinkan
kita untuk mengetahui efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber di sekolah,
keuntungan dari investasi pendidikan, dan pemerataan pengeluaran masyarakat,
pemerintah untuk pendidikan. Disamping itu, juga dapat menjadi penilaian
bagaimana alternatif kebijakan dalam upaya perbaikan atau peningkatan sistem
pendidikan.
1.
Peningkatan KBM
12.
Peningkatan kemampuan dalam
menguasai iptek.
13.
Peningkatan pembinaan kegiatan siswa
14.
Rumah tangga sekolah
15.
Kesejahteraan
16.
Perawatan
17.
Pengadaan alat-alat belajar
18.
Pembinaan tenaga kependidikan
19.
Pengadaan bahan pelajaran
C. Cara-cara
Memperkirakan Biaya Pendidikan
Ada dua cara
untuk memperkirakan biaya pendidikan, yaitu (1) memperkirakan biaya atas dasar
sumber-sumber pembiayaan, dan (2) memperkirakan biaya atas dasar laporan dari
lembaga-lembaga pendidikan.
Cara yang pertama dilakukan dengan cara meneliti laporan dari sumber-sumber pembiayaan
pendidikan. Menurut sifatnya sumber-sumber ini dibedakan atas: (1)
pengeluaran yang menyeluruh, dan (2) pengeluaran menurut status, tingkat, dan
sifatnya.
Pengeluaran
menyeluruh terdiri atas:
(a) sumber-sumber pemerintah, yang terdiri atas: (1) pemerintah pusat, (2)
pemerintah daerah, dan (3) bantuan luar negeri.
Pengeluaran
menurut status dan sifatnya; Menurut statusnya:
pengeluaran dibedakan atas pengeluaran dari lembaga pendidikan pemerintah dan
pengeluaran pendidikan swasta. Kemudian menurut tingkatnya, yaitu
TK, SD, SLTP, SLTA (SMU dan SMK), dan perguruan tinggi. Selanjutnya menurut sifatnya:
pengeluaran dibedakan atas pengeluaran berulang, pengeluaran modal, dan
pengeluaran lainnya.
Cara yang kedua, ialah
menggunakan secara langsung laporan dari lembaga-lembaga pendidikan. Untuk
keperluan membuat perkiraan tersebut harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut: Yang pertama, dan yang terpenting adalah harus ada
laporan dari lembaga-lembaga pendidikan. Kedua, laporan tersebut
harus dibuat menurut pola standar fungsional yang seragam. Ketiga,
laporan harus memperlihatkan keseluruhan biaya operasi dari lembaga tersebut.
Sumber-sumber
dana pendidikan antara lain meliputi: Anggaran rutin (DIK); Anggaran
pembangunan (DIP); Dana Penunjang Pendidikan (DPP); Dana BP3; Donatur; dan
lain-lain yang dianggap sah oleh semua pihak yang terkait. Pendanaan pendidikan
pada dasarnya bersumber dari pemerintah, orang tua dan masyarakat (pasal 33 No.
2 tahun 1989). Sejalan dengan adanya Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS), sekolah dapat menggali dan mencari sumber-sumber dana dari pihak
masyarakat, baik secara perorangan maupun secara melembaga, baik di dalam
maupun di luar negeri, sejalan dengan semangat globalisasi.
Dana yang
diperoleh dari berbagai sumber itu perlu digunakan untuk kepentingan sekolah,
khususnya kegiatan belajar mengajar secara efektif dan efisien. Sehubungan
dengan itu, setiap perolehan dana, pengeluarannya harus didasarkan pada
kebutuhan-kebutuhan yang telah disesuaikan dengan rencana anggaran pembiayaan
sekolah (RAPBS).
D. Tujuan Analisis Manfaat Biaya
Setelah memahami bentuk biaya, tujuan dari analisis biaya
adalah untuk memberikan kemudahan, memberikan informasi pada para pengambil
keputusan untuk menentukan langkah/cara dalam pembuatan kebijakan sekolah, guna
mencapai efektivitas maupun efisiensi pengolahan dana pendidikan serta
peningkatan mutu pendidikan.
Secara khusus, analisis
manfaat biaya pendidikan bagi pemerintah menjadi acuan untuk menetapkan
anggaran pendidikan dalam RAPBN, dan juga sebagai dasar untuk meningkatkan
kualitas SDM dengan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sedangkan bagi
masyarakat, analisis manfaat biaya pendidikan ini berguna sebagai dasar/pijakan
dalam melakukan ”investasi” di dunia pendidikan. Hal ini dirasakan
penting untuk diketahui dan dipelajari, karena menurut sebagian masyarakat
pendidikan hanya menghabis-habiskan uang tanpa ada jaminan/prospek peningkatan
hidup yang jelas dimasa yang akan datang.
PENUTUP
Biaya pendidikan dapat dikatakan memegang peranan penting
dalam keberlangsungan pendidikan. Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan dalam
menyelenggarakan pendidikan yang bermutu juga tidak terlepas dari perencanaan
anggaran yang mantap, alokasi yang tepat sasaran dan efektif sehingga membuat
seluruh komponen lembaga pendidikan tersebut bersinergi dan memberikan hasil
yang optimal dalam pencapaian tujuan. Lembaga pendidikan dapat dikatakan juga sebagai
produsen jasa pendidikan, seperti halnya pada bidang usaha lainnya menghadapi
masalah yang sama, yaitu biaya produksi.
Dan tidak bisa dipungkiri bahwa analisis manfaat biaya
pendidikan menjadi bahan perhatian yang penting bagi pemerintah, masyarakat,
dan para penyelenggara pendidikan untuk menentukan langkah progresif dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Fattah,
Nanang, Ekonomi & Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: PT.Rosda Karya,
2002)
Hallak, J, Analisis
Biaya dan Pengeluaran Untuk Pendidikan (Paris: International Institute For
Planning, UNESCO, 1985)
Supriadi,
Dedi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: PT.Rosda
Karya, 2003)
Konsep dan Analisis Biaya
Pendidikan « CARI ILMU ONLINE BORNEO.html
ums.ac.id/staf/syamsudin/.../Perencanaan%20Biaya%20Pendidikan.pdf
MENGUKUR BIAYA PENDIDIKAN
Oleh: Dr. Nanang Fattah
Biaya pendidikan merupakan dasar empiris untuk memberikan gambaran
karakteristik keuangan sekolah. Analisis efisiensi keuangan sekolah dalam
pemanfaatan sumber-sumber keuangan sekolah dan hasil (out put) sekolah dapat
dilakukan dengan cara menganalisis biaya satuan (unit cost) per siswa. Biaya
satuan per siswa adalah biaya rata-rata per siswa yang dihitung dari total
pengeluaran sekolah dibagi seluruh siswa yang ada di sekolah (enrollment) dalam
kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui besarnya biaya satuan per siswa menurut
jenjang dan jenis pendidikan berguna untuk menilai berbagai alternatif
kebijakan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Di dalam menentukan biaya satuan terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan
makro dan mikro. Pendekatan makro mendasarkan perhitungan pada keseluruhan
jumlah pengeluaran pendidikan yang diterima dari berbagai sumber dana kemudian
dibagi jumlah murid. Pendekatan mikro mendasarkan perhitungan biaya berdasarkan
alokasi pengeluaran per komponen pendidikan yang digunakan oleh murid.
1.
Pendekatan Makro
Faktor utama yang menentukan dalam perhitungan biaya satuan dalam sistem
pendidikan adalah kebijakan dalam pengalokasian anggaran pendidikan di setiap
negara. Pola alokasi biaya pendidikan terutama yang bersumber dari pemerintah
meningkatkan pengaruh berdasarkan struktur piramida karakteristik. Pola ini
memberikan tinjauan kasar tentang prioritas biaya yang bersumber dari
pemerintah. Pada umumnya, negara-negara di Asia mengalokasikan dana pemerintah
untuk pendidikan dasar sebesar 48%, pendidikan menengah 31%, dan pendidikan
tinggi sebesar 19%. Pola yang menurun ini sama dengan pola di Amerika Latin
yang berkontribusi dana pemerintahan masing-masing 51%, 25%, adn 24%. (Bank
Dunia).
Untuk membandingkan biaya pendidikan pada tiap jenjang di tiap negara,
teknik yang digunakan yaitu dengan membandingkan biaya operasional pendidikan
dan sumber keuangannya. Besarnya biaya satuan berdasarkan perbandingan
presentase dari GNP. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bank Dunia,
rata-rata satuan biaya pendidikan dasar di negara-negara Asia yang menjadi
objek studi adalah 10% dari GNP, sama dengan di Amerika Latin, pada pendidikan
menengah rata-rata satuan biaya di Asia adalah 19% perkapita GNP. Sedangkan di
Amerika Latin mencapai 25%, Philipina dan Srilangka memiliki biaya terendah ,
yaitu kurang dari 0,5 kali rata-rata regional. Cina memiliki satuan biaya
paling tinggi yaitu sekitar 1,5 kali rata-rata regional. Di negara-negara lain
seperti India, Nepal, dan Thailand memiliki satuan biaya di bawah rata-rata,
sedangkan Indonesia, Korea, dan Malaysia memiliki satuan biaya di atas rata-rata.
Satuan biaya pendidikan di setiap negara sangat bervariasi. Variasi atau
keragaman dalam besarnya satuan biaya disebabkan perbedaan cara penyelenggaraan
pendidikan. Karakteristik pendidikan yang mempengaruhi biaya meliputi, antara
lain:
·
Skala gaji guru dan jam terbang mengajar.
·
Penataran dan latihan pra jabatan.
·
Pengelompokkan siswa di sekolah dan di dalam kelas.
·
Penggunaan metode dan bahan pengajar.
·
Sistem Evaluasi, dan
·
Supervisi pendidikan.
Alasan adanya perbedaan satuan biaya antara negara-negara di Asia
bermacam-macam. Misalnya, di Bangladesh tingkat biaya terutama disebabkan rasio
guru-siswa yang sangat tinggi, sedangkan di Srilangka disebabkan gaji guru yang
relatif rendah.
2.
Pendekatan Mikro
Pendekatan mikro menganalisis biaya pendidikan berdasarkan pengeluaran
total (total cost) dan jumlah biaya satuan (unit cost) menurut jenis dan
tingkat pendidikan. Biaya total merupakan gabungan biaya-biaya per komponen
input pendidikan di tiap sekolah. Satuan biaya pendidikan merupakan biaya
rata-rata yang dikeluarkan untuk melaksanakan pendidikan di sekolah per murid
per tahun anggaran. Satuan biaya ini merupakan fungsi dari besarnya pengeluaran
sekolah serta banyaknya murid sekolah. Dengan demikian, satuan biaya ini dapat
diketahui dengan jalan membagi seluruh jumlah pengeluaran sekolah setiap tahun
dengan jumlah murid sekolah pada tahun yang bersangkutan.
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI
A. pendidikan dalam pembangunan ekonomi
1.
Pendidikan sebagai Investasi
Pendidikan
dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk
pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini
pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum
dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi
perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk
menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam
gerak langkah pembangunan.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan eletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi. Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan
utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest
selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962,
Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran
ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut
melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.
Bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.
Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan oertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Besker (1964, 1975,1993) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis baha pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Beberapa penelitian neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
2. Nilai Balikan Pendidikan
Pengembangan
SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi,
dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi
yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif
tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return). Sejumlah hubungan telah
diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83
negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat
pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977,
adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen
lebih tinggi daripada nehara-negara lain. Juga telah digambarkan bahwa
investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap
produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari
pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak
berpendidikan di negara-negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika
masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik
usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak
berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang
berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development
Report, 1980).
Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidang pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 persen.
Permasalahan
Pendidikan di Indonesia
Menurut
Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas, pada ceramahnya di
depan Mahasiswa Pasca UPI Prodi Administrasi Pendidikan, mengemukakan bahwa
masalah dan tantangan yang dihadapi dibidang pendidikan di Indonesia antara
lain :
1. Tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah
2.
Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam
pembangunan pendidikan
3.
Kesenjangan tingkat pendidikan
4.
Good Governance yang belum berjalan secara optimal
5.
Fasilitas pelayanan pendidikan yang belum memadai dan merata
6.
Kualitas pendidikan relatif rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta
didik
7.
Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan
IPTEK
8.
Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien
9.
Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai.
Permasalahan
tersebut diatas merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara
berkembang termasuk Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi,
maka akan memberikan kontribusi terhadap peranan pemerintah dan masyarakat
terhadap dampak yang akand ialami negara Indonesia dalam jangka panjang kedepan
dengan kebijakan pembangunan pendidikan sebagai dasar pembangunan negara.
Dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009, peningkatan peran pendidikan ditekankan pada upaya : 1. Perluasan dan Pemerataan Pendidikan 2. Mutu dan Relevansi Pendidikan dan 3. Governance dan Akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan upaya untuk pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga ketinggalan dibindang peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan sehingga tidak tertinggal dengan kemajuan diantara negara-negara Asia Pasifik.
Nilai Ekonomi Pendidikan
Menurut
Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta
“Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua
warga”, kata peraih Nobel Ekonomi, seperti muat pada harian Kompas
(15/12/2004). Pertanyaan ini dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan
soal kebijakan ekonomi seperti apa yang diperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari
bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan neoliberal yang
dianut Indonesia.
Peranan pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang legendaris itu.
Dalam studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar negara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.
Asumsi darsar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Disisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan danpemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.
Studi
dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap
petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi
sektor pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) sangat relevan dalam
wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang
masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini.
Dalam studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.
Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, seringkali produktivitas lebih ditentukan oleh pengaaman, bukan pendidikan. Bagi petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.
Orang bisa mendebat baik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Dibanyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.
Selain itu, ada lagi soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar pendanaan. Disini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh kuranynya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian bat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan disana.
Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diterka secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal ini yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.
Menurut Mohamad Ali (2005), dikemukakan Malaysia mengalami kemajuan yang tinggi di pengembangan SDM, karena pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad, telah mencanangkan pengembangan SDM kedepan dengan melakukan investasi yang cukup tinggi yaitu 28 persen dari anggaran belanja negaranya, dan pemerintahan PM Mahathir yang berjalan selama 17 tahun. Melihat keberhasilan tersebut, maka negara Indonesia dengan UUD 1945 yang telah diamandemen memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran belanja negara seperti tertuang pada pasal 31 Ayat 4.
Investasi dibidang pengembangan SDM merupakan suatu proses yang panjang dan untuk menunjang keberhasilan perencanaan tersebut, pendidikan dan pelatihan harus dijadikan suatu tolok ukur untuk membangun suatu negara. Tetapi pendidikan diibaratkan sebagai suatu kereta yang ditarik kuda, artinya keberhasilan proses pendidikan merupakan kontribusi dari lintas sektoral yaitu tenaga kerja, industri ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis dalam upaya membangun pendidikan nasional. Investasi di bidang pendidikan secara nyata berhasil mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial. Untuk itu, investasi di bidang pendidikan harus didukung pembiayaan memadai, terutama yang diperuntukkan bagi penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Mengikuti agenda Millenium Development Goals (MDGs), tahun 2015 Pemerintah Indonesia harus menjamin bahwa seluruh anak usia sekolah dasar akan memperoleh pendidikan dasar.
Bersamaan dengan itu, akses ke pendidikan menengah dan pendidikan tinggi juga harus diperluas, guna mendukung upaya menciptakan knowledge society yang menjadi basis akselerasi pembangunan ekonomi di masa depan.
Ekonomi Pendidikan NILAI EKONOMI DARI PENDIDIKAN
Pendidikan sebagai Investasi
Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami
sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam
konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan
umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi
perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk
menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam
gerak langkah pembangunan.
Opini yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah
sektor yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara
ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan
ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi
kemajuan pembangunan disegala sektor.
Ketidakyakinan ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen
anggaran untuk sektor pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor
pendidikan dianggap buang-buang uang yang tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi
anggaran sektor pendidikanpun biasanya sisa setelah yang lain terlebih dahulu.
Cara pandangan ini sekarang sudah mulai tergusur sejalan dengan ditemukannya
pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital pendidikan dalam
memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat
bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as
investement) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap
negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi
pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber
daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan
ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam
Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya
sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada tahun
1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul
“Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association
merupakan eletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato
tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui
pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga
merupakan suatu investasi.
Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor
pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi
langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan
keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara
pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai
nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan
minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia
di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan
yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai
pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para
peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan
sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan
selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia
(human capital investement) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor
utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini
sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak
kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan
berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.
Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara
pendidikan dan oertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian
mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara,
khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari
Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik
para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Besker (1964, 1975,1993) mengatakan
bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia
sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis
baha pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis
tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada dimensi
kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi.
Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu
sendiri (human dignity).
Beberapa penelitin neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali
secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan
ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas
dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan
program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan
terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek
interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya
di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang
secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik
tersebut. Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur
pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas
sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu
komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi
suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Nilai Balikan Pendidikan
Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung
terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus
dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat
sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of
return).
Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut.
Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa
di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP
perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup
pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain.
Juga telah digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai
pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya.
Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara poetani yang
berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-negara berpendapa tan
rendah menunjukan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul
tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang
petani yang tidak berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para
petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World
Development Report, 1980).
Peranan wanita dalam mengasung dan membesarkan anak begitu pending
sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti.
Studi-studi menunjukan adanya orelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu
dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan
dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang
diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.
Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan
dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian
ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44
negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat
pendidikan berada jauh diatas 10 persen.
Berbagai penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai
balikan modal manusia lebih besar daripada modal fisik. Tidak ada negara di
dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah
pendidikannya. Jadi kalau kita mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak
menjadikan modal manusia (sektor pendidikan) sebagai prasyarat utama, maka sama
dengan “si pungguk merindukan bulan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar